Tikus-Tikus di Pantai Cilincing

Tikus-Tikus di Pantai Cilincing


Tikus-Tikus di Pantai Cilincing.
(Dari Buku "Satu Cinta Seluas Angkasa")
Untuk Mahasiswaku Binusian...


Dituliskan kembali berdasarkan pengalaman kami tinggal di pinggiran pantai – Cilincing, Pengalaman tak terlupakan ketika kami melihat tikus sebesar anak kucing. Tiga hari terakhir terkena diare.
Cerita ini kupersembahkan untuk temanku yang miskin, Mbah Said, Para suster Puteri Kasih yang berjuang dan Mbak Vero serta Mbak Nia, teman satu atapku Reynaldo dan Arnanda).

Prolog
 Selama seminggu kami akan menjalankan program Live-In di lingkungan kumuh Cilincing. Tiada bukan karena ini merupakan syarat utama masuk seminari tinggi.  
Kelompok Suster Puteri Kasih (terdiri 4 orang suster dan 2 orang aspiran) yang sedang bertugas disana telah menanti kedatangan kami.
 Dalam upaya pemberdayaan sumber daya manusia dan pelayanan, Para Suster ini sekarang bergerak dalam bidang sosial, ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Kebetulan sekali, semangat visi serta misi Kelompok Suster Puteri Kasih memang ditujukan untuk melayani orang sakit dan miskin. Daerah Cilincing kami pilih karena sarat dengan kehidupan masyarakat pantai yang miskin dan kumuh. 

Sebuah Rute Perjalanan 
Rute yang dilalui cukup jauh dan harus beberapa kali naik kendaraan umum untuk mencapai ke lokasi di Cilincing. Kami bertiga berkumpul bersama di Seminari Wacana Bhakti, Pejaten Barat pukul 10.30. Aku lanjutkan perjalanan dengan Metro Mini nomor 612 tujuan Kampung Melayu dengan tarif Rp 1000,-. Setelah sampai di Kampung Melayu, aku langsung naik Bis Patas (lupa nomornya) tujuan Tanjung Priuk dengan tarif sebesar Rp 1000,-. Kami bertiga tidak turun di Terminal Tanjung Priuk melainkan di daerah pertigaan yang disebut “MAMBO”, tetapi dapat juga turun di terminal Tanjung Priuk. Metro Mini nomor U23 mengantarkan kami sampai melewati tempat “KREMATORIUM” dan turun di perempatan jalan. Kami tiba disana pukul 12.30 dan naik mobil biru No.01 Cilincing-Semper (mobil biasanya) ke arah “KREMATORIUM”, kemudian turun di Jalan Kalibaru Timur VI dan berjalan kaki memasuki gang 6A No.14 di mana para suster tinggal.

Sebuah Alkisah
Lokasi tanah misi Para Suster Puteri Kasih   terletak di daerah Cilincing. Rumah yang mereka miliki beralamat di Jln. Kali Baru Timur VI A, No.14, Cilincing. Rumah mereka sangat dekat sekali dengan lautan karena tepat berada sekitar kurang lebih 100 meter dari pinggir pantai. Tanah misi Puteri Kasih berawal dari permintaan Rm. Watardi CM sebagai Kepala Paroki Salib Suci di Tugu, Cilincing kepada Bpk Uskup Mgr. Leo Soekoto SJ agar membantu masyarakat yang miskin serta orang sakit di sana. Keadaan yang miskin menyebabkan kualitas kesehatan mereka menjadi kurang diperhatikan. Akibatnya banyak warga di pedalaman mengalami serangan penyakit.
Atas alasan serta keprihatinan tersebut, Rm. Watardi CM melihat kurangnya tenaga sukarelawan yang memperhatikan hal itu sehingga akhirnya ia mengajukan permohonan. Uskup Leo Soekoto (alm) menyetujui permintaan tersebut dan mengirimkan beberapa para suster untuk bertugas disana.    
Sehingga pada bulan Agustus 1987 para suster Puteri Kasih diutus ke daerah pinggiran Cilincing. Awal karya mereka langsung dihadapkan dengan masalah adanya sikap pro dan kontra dari masyarakat untuk menerima kedatangan para suster tersebut, tetapi hal tersebut tak menjadi beban bagi para suster. Mereka mulai mendekatkan diri pada ketua Rt/Rw dan warga setempat yang memiliki pengaruh besar di daerah tersebut. Kegiatan mereka diawali dengan pelayanan kesehatan oleh dokter sukarelawan yang mendatangi rumah-rumah penduduk, tetapi entah kenapa setelah beberapa lama kegiatan tersebut terhenti. Para mahasiswa Atma Jaya, UKI dan mahasiswa lain yang tergerak dalam bidang sosial mulai membantu disana baik dengan bakti sosial, Live-In dan sebagainya.
Para Suster Puteri Kasih yang membantu di Cilincing: Sr. Maria PK sebagai pimpinan, Sr. Ina PK,  Sr. Clementine PK dan Sr. Hendrika PK. Kedua orang gadis aspiran yang turut membantu ialah Mbak Nia dan Mbak Vero.
Suster Puteri Kasih ini memiliki 4 kaul. Selain 3 kaul yang terdiri atas kaul kemiskinan, ketaatan, dan kemurnian, mereka masih memiliki 1 kaul lagi yaitu visi serta misi melayani orang miskin dan sakit. Pelayanan mereka dalam bidang pendidikan non-formal, kesehatan, ekonomi dan sosial di Cilincing memiliki sebuah sasaran memberdayakan masyarakat yang lebih maju dan menciptakan kepribadian masyarakatnya yang disiplin dan mandiri.
Tentu saja sampai saat ini sasaran tersebut belum bisa dicapai karena memiliki kendala, seperti kesadaran masyarakat yang kurang terhadap kesehatan, beratnya mengajar anak-anak yang tidak sekolah sehingga pelayanan yang diberikan di sana masih bersifat membantu serta mendidik dan belum dapat menciptakan masyarakat yang bisa mandiri dan disiplin. Lalu bagaimana jadinya nanti?

Tak Boleh Tinggalkan Sejarah
Para suster Puteri Kasih menjadi harapan bagi Uskup Leo Soekoto (alm) karena semangat serta kepedulian terhadap orang miskin dalam visi serta misi. Sejak awal pendidikan seminari di Kediri, para suster Puteri Kasih yang menjalani masa postulat sudah dilatih untuk membantu masyarakat sekitar dalam suatu kegiatan tanpa adanya pandang agama. Kegiatan ini biasanya dilakukan setiap hari sabtu di mana para suster dilepas ke tempat tujuan masing-masing. Ketika memasuki masa novisiat, para suster Puteri Kasih akan melepaskan “jubahnya” untuk ikut bekerja di masyarakat sebagai buruh rokok. Mungkin alasan tersebut yang membuat bapak uskup tertarik dengan para suster Puteri Kasih.
Para suster mulai membuka Toko Murah dengan menjual bahan sembako murah bagi masyarakat sekitar. Karya para suster tak berhenti di situ saja, mereka mulai membuka pelayanan kesehatan non formal di tempat tinggalnya. Mbak Nia dan Mbak Vero merasa tertarik untuk membantu karya disana. Banyak sekali anak-anak disana putus sekolah dan kebanyakan karena masalah biaya. Para suster berencana mendirikan sebuah rumah sebagai tempat kegiatan sekolah non formal dari pra TK hingga kelas 6 SD. Selama berjalannya hari selalu ada pergantian para suster.  Tahun ini Sr. Ina, PK (berkarya 3 tahun) mengurusi bidang pendidikan non formal, Sr. Clementine, PK mengurusi bidang kesehatan, dan Sr. Hendrika, PK mengurusi bidang ekonomi. Karya tersebut terus berlangsung hingga sekarang. Kini mereka memiliki 3 rumah; 1 rumah tempat tinggal para suster, 1 rumah kesehatan beserta tempat tinggal 2 orang aspiran dan 1 rumah kegiatan atau aula.
Pendidikan. Banyak anak-anak dari berbagai usia putus sekolah karena orang tua mereka tidak mampu membayar biaya sekolah dan membantu orang tua mereka bekerja mencari uang. Selain itu kesehatan serta gizi mereka pun sangat kurang. Suatu hari terpikirkan oleh Sr. Clementine .PK ketika melihat banyak anak-anak kecil di depan rumahnya. “Mau aku apakan mereka?”, tanya Sr. Clementine .PK dalam diri.
Pertama-tama para suster mulai mengajak anak-anak main ke rumah, baca-baca buku, bercanda. Setelah itu mereka diajarkan untuk cara hidup bersih dan belajar. Saat itu sangat sulit bagi para suster untuk mengajarkan mereka cara hidup bersih seperti mencuci tangan sebelum makan dan tidak buang air besar sembarangan.
Banyak anak sering belajar di rumah para suster. Maka mereka mendirikan sebuah rumah kegiatan untuk belajar pra TK hingga kelas 6 SD.
Mereka tidak memakai kurikulum sekolah sehingga pendidikan sekolahnya pun bersifat non-formal atau lebih mudah disebut “les sekolah (bimbingan belajar)”, tetapi yang sangat disayangkan pelajaran yang diberikan oleh para suster masih bersifat suka-suka. Beberapa anak diberikan tanggung jawab pula untuk mengajar dalam bentuk jadwal. Kegiatan belajar ini dilakukan di rumah kegiatan berbentuk semacam sekolah.
Di dalam rumah itu tersedia buku-buku pelajaran, novel dan buku cerita yang lengkap bagi anak-anak yang belajar di sana. Jadwal kegiatan diatur sedemikian rupa agar tiap tingkat kelas memperoleh bimbingan. Anak TK, kelas 1 dan 2 belajar setiap hari Senin dan Selasa. Kelas 3 sampai 6 belajar setiap hari Kamis sore sampai Jumat. Hari Sabtu khusus bagi anak pra TK. Hari Rabu dan Kamis pagi mereka diliburkan. Jadwal bimbingan tersebut dimulai pukul 08.00–09.30 dan pukul 16.00-17.30.
Kesehatan. Bidang kesehatan ini diurus oleh Sr. Clementine. PK di Rumah Kesehatan (Balai Pengobatan). Rumah Kesehatan ini memang tak memiliki ijin buka praktek tetapi dianggap sah oleh mereka demi pelayanan darurat bagi orang sakit yang tak mampu. Biasanya Balai Pengobatan ini memberikan gratis kepada para keluarga yang memang tidak mampu membayar obat. Balai pengobatan ini menjual obat-obatan yang sangat murah sehingga harganya bisa terjangkau oleh warga sekitar.
Balai Pengobatan ini dibuka setiap hari Selasa dan Kamis dari pukul 17.00 hingga pukul 20.00. Masalah yang dialami dalam pelayanan kesehatan ini ialah kurangnya kesadaran warga setempat akan kesehatan mereka sendiri, sehingga para susterlah yang harus berkunjung serta berkeliling menjumpai warga yang sakit serta harus menasehati mereka untuk berobat. Tetapi dari para warga sendiri terkadang malas untuk mengambil obat atau karena alasan memang tidak punya biaya untuk membeli obat.
Ekonomi. Para Suster Puteri Kasih juga menyediakan “Sembako” murah bagi warga sekitar yang tidak mampu. Kegiatan penjualan sembako ini dilakukan setiap hari Kamis pagi dan biasanya setiap hari Rabu menyiapkan barang-barang yang akan dijual di rumah kegiatan tempat di mana para suster mengajar anak-anak.
Setiap Rabu para kader-kader yang terdiri atas bapak dan ibu dari para keluarga yang bersedia memberi waktu dalam kegiatan sosial, turut membantu para suster di rumah kegiatan. Barang yang dijual ketika saat Live-In ialah beras, mie, gula, dan minyak. Penjualan bahan pokok itu hanya dilakukan satu kali setiap minggu, pengambilan sembako pun hanya bisa sekali saja karena memakai buku catatan maka jadwal les hari Rabu dan Kamis pagi ditiadakan.
Sosial. Para suster dan Mbak Nia dan Vero biasanya melakukan kunjungan ke para keluarga untuk berbagi cerita atau mengantar obat untuk keluarganya. Ketika saat Live-In aku membantu Mbak Nia dan Mbak Vero menjual baju-baju bekas dengan harga murah demi pendidikan anak-anak yang kurang mampu di Gereja pada hari Minggu. Hasil yang terkumpul cukup besar. Pakaian tersebut didapat dari para donatur atau para penyumbang.

The first place: Jadi tukang kupas kijing?
Kami menjalani kegiatan Live-In selama 10 hari dengan 2 tempat yang berbeda. Saya menginap di rumah Mbah Hasaid, beragama Islam selama seminggu dan 3 hari di rumah Pak Agus (anaknya) di daerah Marunda (Perbatasan DKI Jakarta –Jawa Barat). Ketika saya diantar oleh Sr. Ina PK ke rumah Mbah Said, ternyata saya melihat Mbah Said sedang mengupas kijing (kerang hijau) yang telah direbus dan saya pun langsung membantu setelah menaruh barangku ke dalam rumah.
Di sana saya ditemani pula oleh Minarsih dan Udin (anak dari Pak Agus) yang tinggal disana karena harus mengambil rapor. Mbah Said bekerja sebagai seorang kuli kijing yang memperoleh upah Rp 4000,- sampai Rp 5000,- per karung besar. Kegiatan mengupas kijing tersebut biasanya saya lakukan 2 kali setiap hari. Saya pernah sekali tidak makan pagi sebelum saya kerja terlebih dahulu. Udara daerah pantai dekat rumah nenek ini sangat tercemar karena bau amis kijing (kerang hijau) dan sampah-sampah yang dibuang di pinggir pantai. Pinggir pantai di sana bukanlah pasir pantai lagi melainkan penuh dengan tumpukan kulit kijing yang bau amis, apalagi air lautnya yang kotor berwarna hitam. Daerah sekitar sana banyak sekali tikus-tikus dan lalat berkeliaran termasuk di rumah mbah Said sendiri.
Tempat kamar mandi tak ada sehingga harus memakai kamar mandi darurat yang di sekitarnya banyak sampah. Saya mandi ataupun minum air di sana tak mungkin lagi mengambil air tanah melainkan harus membeli air bersih dari para penjual air. Hampir seluruh penduduk di sana termasuk para suster sendiri harus membeli air bersih.
Kebanyakan warga di sana bekerja sebagai kuli kijing (kerang) setiap hari. Banyak para keluarga beserta anaknya bekerja di pinggiran pantai untuk mengupas atau memisahkan kijing tersebut. Kijing (kerang hijau) diambil langsung dari laut di mana setiap pemilik peternakan kijing di laut memiliki bagian tempat di laut itu. Peternak kijing yang telah mengambil hasil dari laut kemudian menjualnya kepada penadah sebesar Rp3500,- per ember. Kakek Said sebagai suami selalu pergi ke laut untuk menyelam mengambil kijing tersebut. Kebetulan saat itu Kakek Said sering tidak mendapatkan kijing dari peternakannya.
Tetangga sebelah bekerja pula sebagai nelayan. Ia mengaku selama perjalanan hidupnya terkadang sangat sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Biasanya ia memperoleh Rp 50.000,- per hari, tetapi biasanya uang itu langsung habis buat kebutuhan keluarga. Hasil jumlah kijingnya pun kadang-kadang sedikit.

Off the record!
Saya baru tahu bahwa kerang-kerang berwarna merah yang biasa dijual di pasar sebenarnya adalah kijing (kerang laut) yang disepuh. Pertama kali kijing yang telah diambil dari laut dimasukkan ke tong besar untuk direbus dengan api tanpa air. Setelah kulit kijing membuka karena mati, barulah kijing yang berada di dalamnya dikeluarkan. Kijing tersebut kemudian disepuh dengan pewarna merah atau kuning sesuai dengan warna kijingnya. Malam hari kijing tersebut diberikan es dan formalin (obat mayat) dan besoknya baru dijual ke pasar. 



Putus Sekolah adalah Sebuah Jawaban
Siang hari kira-kira pukul 13.00-14.00 dan pukul 20.00-21.00 kami bertiga memberikan les bersama kepada anak-anak yang mau belajar bersama. Sederhana sekali, membaca, menulis, dan hitung-hitungan. Segelintir dari mereka ingin sekali punya pendidikan. Namun apa daya kekurangan dana ekonomi menjadi sebuah kendala besar bagi keluarga mereka.
Minarsih contohnya, ia anak dari Pak Agus yang kurang mampu, tetapi karena prestasi belajarnya mendapatkan ranking 3 di sekolah maka ia mendapatkan beasiswa. Kini ia hanya mengeluarkan uang sebesar Rp 5000,- untuk membayar sekolah.Putus sekolah atau tak pernah sekolah sama sekali adalah jawabannya. By the way, keinginan belajar mereka berbeda-beda. Mereka pun sangat sulit untuk diatur hingga kami merasa kelelahan sendiri.

The second place: Marunda
Dari rumah nenek Said, saya pergi Live-In di rumah Pak Agus di daerah Marunda-Bekasi. Saya berangkat ke sana menggunakan perahu kecil yang dimiliki oleh saudara Mimin, tentunya kami bertiga (Saya, Aldo, dan Arnanda) membayarnya Rp 15000,- untuk tambahan biaya bensin. Di Marunda ternyata tempatnya bersih daripada Cilincing, hanya memang sepi penduduknya. Rumah mereka terbuat dari tenunan bambu dan dibuat menjadi rumah panggung, udaranya pun bersih.
Selama 3 hari disana saya sakit diare dan Arnanda sakit panas. Setiap hari saya hanya makan ikan bakar atau ikan goreng dari hasil tangkapan Pak Agus sendiri. Air bersih sangat sulit untuk didapat maka Pak Agus harus pergi ke Cilincing dengan perahu bila ingin membeli air bersih. Di sana tak ada warga sekitar yang menjual air bersih dan pusatnya hanya di Cilincing.
Saya pernah kehabisan air bersih, tetapi kebetulan pagi harinya hujan maka Pak Agus menampung air hujan tersebut di dirijen plastik. Tentu saja saya tidak mencuci pakaian selama 3 hari karena kesulitan air. Saya di sana juga tak perlu untuk mengganti-ganti pakaian karena cuaca di sana tidak membuat saya merasa ‘gerah’. Pak Agus memiliki 3 anak yaitu Udin, Minarsih, dan Dhepi yang paling kecil. Rumah mereka sangat kecil; ruang makan, masak, dan tidur menjadi satu. Saya merasa prihatin melihat keadaan di sana.
Setelah 3 hari, saya pulang ke rumah suster dan nenek untuk berpamitan terlebih dahulu, kemudian ngobrol sebentar dengan Sr. Clementine mengenai pengalaman rohani yang saya dapat disana. Memang benar kata-kata Sr.Clementine. PK, “Orang miskin menjadi guru bagi pengalaman diri kita.”

Post a Comment

0 Comments