OPINI: Mengapa Pancasila Tidak Bisa Diganti?

OPINI: Mengapa Pancasila Tidak Bisa Diganti?

Oleh Syaiful Arif
Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila (PSPP)

Di linimasa media sosial kita, berkembang narasi yang mempertanyakan keabsahan Pancasila sebagai dasar negara. Narasi seperti ini semakin hari menguat, menjadi "gerakan laten" yang merongrong ideologi bangsa. Validkah argumen yang dikembangkan para penolak Pancasila ini?

Di dalam narasi yang viral itu, ada beberapa argumen yang diajukan untuk menolak Pancasila. Pertama, bagaimana Pancasila bisa disebut dasar negara jika kata "Pancasila" itu sendiri tidak ada di dalam konstitusi (UUD 1945) dan Undang-Undang (UU) apapun? Jika Pancasila berada di luar konstitusi, maka menurut argumen ini, ia bersifat inkonstitusional. Sebuah kesimpulan yang sekilas terlihat logis, namun sebenarnya mengandung kesalahan fatal.

Kedua, andaipun sila-sila Pancasila ada di dalam alinea keempat UUD 1945, apa jaminannya bahwa hanya kalimat lima sila itu yang merupakan Pancasila? Bukankah dalam alinea keempat itu, terdapat kalimat lain yang lebih luas?

Meta-Legal

Pandangan di atas, yang menjangkiti korban ideologisasi radikalisme agama merupakan pandangan awam yang tidak mengetahui persoalan. Dianggapnya ketika Pancasila tidak ada di dalam UUD, maka ia tidak ada sebagai dasar negara.

Anggapan ini tentu saja tidak tepat, karena posisi dasar negara memang berada di atas konstitusi. Ia bersifat meta-legal, extra-legal notion, bukan bagian dari produk hukum yang bisa diamandemen.

Hal ini terkait dengan hirarki sistem hukum modern, yang menempatkan dasar negara di pucuk piramida hirarki norma hukum. Mengacu pada teori hukum (Stufenbautheorie) yang telah klasik dari Hans Kelsen, norma hukum dibangun secara hirarkis, dimana norma-bawah lahir dari norma yang lebih atas. Semakin ke atas, norma hukum itu bersifat abstrak. Norma hukum yang abstrak dan menjadi dasar negara ini disebut sebagai norma dasar (Grundnorm) atau pinjam istilah Profesor Notonagoro, norma fundamental negara (Staatfundamentalnorms). Letaknya dimana? Tidak di dalam konstitusi (UUD) dan UU, tetapi melampauinya.

Mengapa letak dasar negara di luar konstitusi? Karena konstitusi bisa diamandemen. Sedangkan dasar negara harus final. Mengubah dasar negara, tidak hanya akan mengubah bentuk negara, tetapi juga latar belakang pendirian dan tujuan bernegara. Oleh karenanya, mengubah Pancasila pasti akan mengubah NKRI menjadi, misalnya Negara Islam. Kedua bentuk negara ini sangat berbeda. NKRI merupakan negara pluralistik yang menempatkan semua penduduk sebagai warga negara setara di hadapan hukum. Sedangkan Negara Islam akan menjadikan umat Islam sebagai warga negara kelas pertama. Sistem hukumnya juga akan berubah, termasuk model kekuasaan. Di dalam NKRI, kekuasaan dikelola secara demokratis. Di Negara Islam, kekuasaan disandarkan pada "hukum Tuhan" yang imun kritik.

Lalu dimanakah letak Pancasila itu secara tekstual? Ia terletak di dua tempat. Pertama, di dalam hasil kesepakatan para pendiri negara yang memuncak pada Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 18 Agustus 1945. Di masa perumusan dan pengesahan ini, sila-sila Pancasila yang ditetapkan ialah ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial. Lima nilai dan konsep ini yang didiskusikan para pendiri negara, bukan nilai-nilai lain. Kedua, lima nilai itu lalu ditulis di dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Namun yang perlu menjadi catatan ialah, teks lima sila di Pembukaan tersebut bukanlah Pancasila. Ia hanya penulisan sila-silanya. Pancasila sendiri berada di luar, melampaui UUD. Ia ada di momen historis perumusan Pancasila, sejak 1 Juni hingga 18 Agustus 1945.

Menyebut lima sila di Pembukaan sebagai Pancasila sangat tidak tepat, karena redaksi dari sila-sila itu sempat mengalami perubahan. Yakni di dalam Pembukaan UUD RIS 1949 dan UUD Sementara 1950. Jika Pancasila disebut ada di dalam Pembukaan, berarti ia pernah mengalami perubahan. Padahal menurut sistem hukum modern, norma dasar konstitusi tidak bisa berubah. Letak Pancasila yang ada di luar konstitusi ini pula yang membuat Mahkamah Konstitusi, melalui Putusan MK No. 100/PUU-XI/2013, menghapus istilah Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Mengapa? Karena Pancasila bukanlah pilar yang sepadan dengan UUD. Ia merupakan dasar yang melandasi pilar-pilar kenegaraan.

Jelas Hukumnya

Para penolak Pancasila itu juga menyatakan bahwa dasar negara ini tidak ada di dalam UU. Sebuah pandangan yang salah, sebab status Pancasila sebagai dasar negara, norma dasar dan sumber dari segala sumber hukum telah dikukuhkan oleh berbagai produk perundang-undangan kita.

Pertama, TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundangan RI. Memorandum tertanggal 9 Juni 1966 ini menyatakan bahwa sumber dari tertib hukum RI adalah pandangan hidup, kesadaran, cita-cita hukum, cita-cita politik mengenai sifat, bentuk dan tujuan negara, serta cita-cita moral mengenai kehidupan kemasyarakatan dan keagamaan sebagai pengejawantahan dari budi nurani manusia. TAP inipun secara eksplisit menyatakan bahwa Sumber Tertib Hukum RI adalah Pancasila.

Kedua, TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan menegaskan kembali Pancasila sebagai sumber hukum dasar nasional. Hingga amandemen keempat UUD 1945 pada 2002, TAP MPR ini masuk klasifikasi sebagai TAP MPR yang tetap berlaku hingga terbentuknya UU.

Ketiga, sebagai pengganti TAP MPR No. III/MPR/2000 ini ialah UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 2 UU No. 10/2004 ini menyatakan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara. Ditambah pula dalam Penjelasan Pasal 2 UU No. 10/2004, penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah sesuai dengan Pembukaan UUD 1945, yang menempatkan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, sehingga setiap materi muatan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

Keempat, UU No. 12 Tahun 2011 sebagai pengganti UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam Pasal 2 UU No. 12/2011 itu, kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dan dasar negara dikuatkan kembali (Basarah, 2017).

Dengan berbagai penegasan yuridis atas status Pancasila sebagai dasar negara ini, maka pandangan yang menyatakan bahwa Pancasila tidak ada di dalam peraturan perundang-undangan kita, kandas sudah. Pandangan ini tak lebih pandangan awam yang tidak mengetahui persoalan. Sebab yang dimaksud Pancasila sebagai dasar negara ialah Pancasila sebagai norma dasar yang menjadi sumber dari segala sumber hukum. Status ini telah dikuatkan oleh berbagai ketetapan hukum tersebut.

Oleh karena itu, pandangan yang menyatakan bahwa Pancasila inkonstitusional karena ia tidak ada di dalam konstitusi kita, juga tidak tepat. Pancasila memang terletak di atas konstitusi, agar ia tidak bisa diganti. Inilah arti status Pancasila sebagai dasar negara yang final. Hanya pemberontakan dan revolusi politiklah yang mampu mengganti Pancasila. Dan revolusi semacam itu tidak akan bisa terjadi di negeri ini. Kekuatan militer, politik dan kultur bangsa ini terlalu kuat untuk diubah melalui perubahan dasar negara!

Menaati Kesepakatan

Pertanyaannya, dimanakah letak terpenting Pancasila dalam kehidupan bangsa, sehingga ia tidak tergantikan? Yakni di dalam statusnya sebagai hasil kesepakatan para pendiri bangsa. Kesepakatan inilah yang membuat Pancasila menjadi norma dasar konstitusi dan hukum kita.

Dalam rangka menghormati hasil kesepakatan ini, maka organisasi seperti Muhammadiyah mengakui Negara Pancasila sebagai dar al-'ahdi wa al-syahadah: negara hasil kesepakatan dan persaksian. Pengakuan ini ditetapkan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar, 3-7 Agustus 2015. Pengakuan seperti ini juga dilakukan oleh Nahdlatul Ulama (NU) pada Munas Alim Ulama di Situbondo, 1983.

Jika organisasi-organisasi terbesar Islam saja mengakui Pancasila sebagai dasar terbaik bagi bangsa. Mengapa para pengusung Khilafah ini tidak mau menerima Pancasila? Bukankah QS al-Maidah: 1 memerintahkan orang-orang beriman untuk menerima hasil kesepakatan (akad)? Bukankah hasil kesepakatan yang diikat oleh perjanjian untuk menaati itu juga harus dipenuhi karena QS al-Isra':34 memerintahkan Muslim memenuhi janji?

Mari belajar mengamalkan Islam dalam konteks kehidupan bersama. Apalagi jelas bahwa di dalam dasar negara itu, termuat tauhid (Ketuhanan Yang Maha Esa) yang menjadi sumber dari segala sumber ajaran agama.

Post a Comment

0 Comments