Kebijakan Dividen

Kebijakan Dividen


KEBIJAKAN DEVIDEN
Kebijakan deviden menyangkut keputusan apakah laba akan dibayarkan sebagai deviden
atau ditahan untuk reinvestasi dalam perusahaan. Kebijakan deviden merupakan
kebijakan yang kontroversial, karena:
· Bila deviden ditingkatkan, arus kas akan meningkat bagi investor, akan
menguntungkan investor.
· Bila deviden ditingkatkan, laba ditahan yang direivestasi menurun, pertumbuhan
masa depan menurun, akan merugikan investor.
Kebijakan deviden yang optimal menyeimbangkan kedua hal tersebut dan
memaksimalkan harga saham.
Kebijakan deviden suatu perusahaan dihadapkan pada 2 masalah utama, yaitu:
1. Pengaruh dari deviden, berkaitan dengan pertanyaan apakah jumlah atau tingkat
deviden yang dibayarkan mempengaruhi nilai saham suatu perusahaan atau hasil
yang dinikmati oleh pemegang saham.
2. Informasi yang terkandung pada deviden, masalah ini mempertanyakan apakah
kebijakan deviden terutama perubahan-perubahan pada kebijakan tersebut
(misalnya membayar deviden berupa saham bonus) memberikan indikasi kepada
pasar mengenai prospek laba di tahun yang akan datang.
1. BENTUK DEVIDEN
1.1. Deviden Tunai (Cash Dividend) :
Deviden tunai diambil dari laba bersih perusahaan setelah diperhitungkan pajak.
Deviden tunai berdasarkan jangka waktu pembayarannya ada dibagikan secara
berkala, extra dividend, dan special dividend.
a. Stable amount pershare : deviden diberikan dalam nilai rupiah yang relative
stabil per sahamnya. Alasan untuk memberikan deviden yang stabil adalah:
- Deviden yang berfluktuasi lebih beresiko daripada deviden yang stabil, karena itu
tingkat diskonto yang lebih rendah akan diterapkan pada deviden yang stabil
sehingga nilai saham lebih tinggi.
- Pemegang saham yang mengharapkan pendapatan dari penerimaan deviden akan
lebih suka untuk menerima deviden dalam jumlah yang stabil.
- Persyaratan listing saham mensyaratakan deviden yang stabil dan tidak terputus.
b. Constant Payout Ratio: deviden atas dasar presentase tetap dari laba bersih
perusahaan.
c. Low Regular Dividend Plus Extra: tingkat deviden yang relative rendah
tetapi sudah pasti jumlahnya ditambah suatu extra, yang besarnya disesuaikan
dengan tingkat keuntungan perusahaan.
Factor-faktor yang mempengaruhi kebijakan deviden adalah:
· Posisi kas atau likuiditas perusahaan
· Kebutuhan pembayaran kembali hutang perusahaan
· Tingkat ekspansi yang tinggi memerlukan dana yang besar, sehingga laba yang
diperoleh lebih baik ditahan
· Akses perusahaan di pasar modal
· Posisi pemegang saham dalam kelompok pajak, bila pemegang saham termasuk
dalam kelompok pembayar pajak besar, mereka akan lebih menyukai untuk
mempertahankan payout ratio yang rendah.
Keputusan pemberian deviden dilakukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS),
yang pada media massa.
1.2 DEVIDEN SAHAM (STOCK DIVIDEND)
Dengan dilakukannya stock dividend, maka tidak terjadi cash outflows, tetapi
hanya transaksi pembukuan guna memindahkan sejumlah uang dari perkiraan laba yang
ditahan kepada perkiraan modal saham biasa yang disetor. Stock dividend adalah
pembayaran tambahan saham kepada para pemegang saham, dan menunjukkan
penyusunan kembali modal perusahaan, sedangkan proporsi kepemilikan pemegang
saham, tetap tidak berubah.
Contoh:
PT Abadi memiliki struktur modal sebagai berikut:
Saham biasa (nominal Rp 1000 ; 3 000 000 lembar) Rp 3 000 000 000
Capital surplus 1 500 000 000
Laba ditahan 7 500 000 000
Modal sendiri 12 000 000 000
Perusahaan menentukan stock dividend sebesar 10%. Harga pasar saham Rp 4.000,-
Bagaimanakah komposisi modal sendiri setelah stock dividend?
Jawab:
Stock dividend 10%, maka ada tambahan saham sebanyak 10% x 3 000 000 = 300 000
lembar.
Stock deviden = 300 000 x Rp 4.000,- = Rp 1.200.000.000,- ditransfer dari laba ditahan
ke saham biasa dan capital surplus.
Nilai nominal saham tidak berubah, maka 300000 lbr x Rp 1000 = Rp 300.000.000,-
ditransfer ke modal saham biasa, sisanya Rp 1 200 000 000,- – Rp 300 000 000,- =
Rp 900 000 000,- dimasukkan dalam capital surplus, sehingga total modal sendiri tidak
berubah.
Setelah stock dividend maka komposisi modal sendiri PT Abadi :
Saham biasa (nominal Rp 1000 ; 3 300 000 lembar) Rp 3 300 000 000
Capital surplus 2 400 000 000
Laba ditahan 6 300 000 000
Modal sendiri 12 000 000 000
Stock dividend meningkatkan jumlah saham yang beredar, sehingga laba per
saham (EPS) akan menurun secara proporsional. Jadi para pemegang saham mempunyai
jumlah lembar saham yang bertambah, tetapi mempunyai EPS yang berkurang, sehingga
proporsi keuntungan totalnya tetap tidak berubah. Pembagian stock dividen akan
menurunkan harga saham sehingga tidak memberikan manfaat ekonomis, kalau
kemampuan perusahaan dalam mendapatkan laba tidak berubah, demikian juga dengan
biaya modalnya.
Bagaimanapun, harga saham akan dipengaruhi oleh kemampuan memperoleh laba
dan resiko perusahaan (yang tercermin dalam biaya modalnya). Kedua factor tersebut
tidak bisa dimanipulasi oleh manajer keuangan. Manajer keuangan tidak bisa
menyebabkan pemegang saham menjadi lebih kaya hanya karena memutuskan untuk
membagikan stock dividend. Umumnya perusahaan memutuskan untuk membagikan
stock dividend, karena mereka memerlukan dana tersebut, dan tidak ingin mengecewakan
pemegang saham.
1.3 PEMECAHAN SAHAM (STOCK SPLIT)
Stock split adalah pemecahan nilai nominal saham ke dalam nilai nominal yang
lebih kecil. Pemecahan saham lama ini menjadi beberapa saham baru, akan menyebabkan
jumlah saham yang beredar bertambah. Tujuan stock split adalah untuk menempatkan
harga pasar saham dalam trading range tertentu.
Contoh:
PT Abadi menentukan stock split dari satu menjadi dua saham. Komposisi modal sendiri
perusahaan adalah sebagai berikut:
Saham biasa (nominal Rp 5000 ; 600 000 lembar) Rp 3.000 juta
Capital surplus Rp 1.500 juta
Laba ditahan Rp 7.500 juta
Modal sendiri Rp12.000 juta
Setelah stock split, komposisi modal sendiri menjadi:
Saham biasa (nominal Rp 2500 ; 1 200 000 lembar) Rp 3.000 juta
Capital surplus Rp 1.500 juta
Laba ditahan Rp 7.500 juta
Modal sendiri Rp12.000 juta
Setelah stock split, nilai nominal saham menjadi ½ X Rp 5 000 = Rp 2500 per lembar.
Investor yang semula memiliki 100 lembar saham setelah stock split jumlah saha, yang
dimilikinya menjadi 2 X 100 lembar = 200 lembar, meskipun total nilainya tidak
mengalami perubahan. Kekayaan investor tidak berubah, sehingga tidak ada keuntungan
ekonomis yang diperolehnya dari stock split.
Jadi ada persamaan antara Stock Devidend dan Stock Split, yaitu:
1. Tidak ada pendistribusian kas dalam kedua bentuk itu.
2. Mengakibatan jumlah lembar saham yang beredar meningkat.
3. Total modal sendiri (net worth) tidak berubah, tetapi hanya
komposisinya saja yang berubah.
1.4. PEMBELIAN KEMBALI SAHAM
(REPURCHASE OF STOCK)
Sebagai akternatif pemberian deviden berupa uang tunai, perusahaan dapat
mendistribusikan pendapatan kepada pemegang saham dengan cara membeli kembali
saham perusahaan (repurchasing stock). Saham yang dibeli kembali itu akan dibukukan
sebagai perkiraan Treasury Stock. Dengan dibelinya kembali sebagian saham, maka
jumlah saham yang beredar akan berkurang, bila diasumsikan pembelian kembali saham
ini tidak memberi pengaruh negative terhadap keuntungan perusahaan, maka EPS akan
meningkat, yang akan, meningkatkan harga pasar saham. Kenaikan harga pasar saham itu
akan memberikan capital gains sebagai ganti deviden kepada para pemegang sahamnya.
Contoh: PT Abadi adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri manufaktur yang
memproduksi produk-produk perlengkapan busana wanita dan pria. Pada tahun 2005
memperoleh laba sebesar Rp 550 juta dan 50% dari jumlah tersebut akan dibagikan
kepada para pemegang saham dalam bentuk pembelian kembali saham. Jumlah saham
yang beredar saat ini adalah sebanyak 1.100.000 lembar dengan harga pasar sebesar
Rp 2.500,- per lembar saham. Manajer keuangan saat ini menawarkan kepada mereka
yang mau menjual kembali saham biasa yang dimilikinya seharga Rp 2.750,- jadi seolaholah
menawarkan cash dividend Rp 250 per lembar saham. Berdasarkan data tersebut,
carilah:
a. laba per saham dan P/E Ratio sebelum kebijakan pembelian kembali saham
b. laba per saham setelah kebijakan pembelian kembali saham
c. harga saham setelah kebijakan pembelian kembali saham dengan asumsi P/E
Ratio konstan.
Jawab:
EAT = 550 juta
Payout Ratio 50%
Outstanding share = 1,1 juta
P saham = Rp 2500 / lembar
P treasury stock = Rp 2750 / lembar
a. Sebelum kebijakan pembelian saham:
EPS = Rp.550,- juta / 1,1 juta = Rp 500 /lembar
Price <- PER = 2500 / 500 = 5
EPS
b. Setelah kebijakan pembalian kembali saham:
EAT untuk treasury stock = ½ x Rp.550,- juta = Rp.275,- juta
Jumlah saham yang dapat ditarik kembali = 275 juta / 2750 = 100 ribu lembar
EPS = Rp.550,- juta / 1 juta = Rp 550,- / lembar
c. P saham = PER X EPS =
= 5 x Rp 550,- = Rp 2.750,-
KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN STOCK REPURCHASE
Pembelian kembali saham mempunyai beberapa keuntungan baik bagi pemegang
saham maupun manajeman perusahaan, yaitu:
Pembelian kembali saham perusahaan dipandang sebagai indikasi bahwa saham dinilai
terlalu rendah (under valued) oleh pasar.
Pemegang saham memiliki pilihan untuk menjual saham atau tidak, yang memerlukan
uang kas dapat menjual sahamnya, sedangkan yang menahan sahamnya dapat berharap
akan menikmati capital gains, karena kenaikan harga saham setiap pembelian kembali.
Dari pandangan manajemen pembelian kembali saham dapat menghindari kenaikan
deviden. Jika deviden naik terlalu tinggi dikuatirkan di masa datang perusahaan terpaksa
membagi deviden yang lebih kecil yang dapat memberi pertanda negatif.
Stock repurchase merupakan alternative yang baik untuk mendistribusikan penghasilan di
atas normal (extraordinary earnings) kepada pemegang saham.
Repurchase merupakan suatu cara praktis bagi manajemen untuk melakukan
restrukturisasi keuangan perusahaan. Misalnya, perusahaan ingin merubah struktur modal
dengan meningkatkan rasio hutang dan menggunakan hutang baru untuk membeli saham
perusahaan yang beredar. Hal ini dapat digunakan sebagai strategi untuk mengacaukan
usaha pengambil alihan perusahaan, yang biasanya dilakukan dengan cara membeli
saham sebanyak-banyaknya, hingga mencapai jumlah saham mayoritas. Stock repurchase
dapat menggagalkan usaha ini.
Saham yang ditarik kembali dapat dijual kembali ke pasar jika perusahaan membutuhkan
tambahan dana.
Kerugian yang dapat timbul karena repurchase stock adalah:
Perusahaan mungkin membeli saham dengan harga terlalu tinggi, sehingga
merugikan pemegang saham yang tidak menjual kembali sahamnya.
Keuntungan repurchase dalam bentuk capital gains, padahal sebagian investor lebih
menyukai deviden.
Investor mungkin memandang pembelian saham merupakan indikasi bahwa
perusahaan tidak mempunyai proyek-proyek baru yang baik. Namun, jika memegang
perusahaan tidak memiliki kesempatan investasi yang baik, memegang seharusnyalah
dana tersebut didistribusikan kembali kepada pemegang saham.
Setelah stock repurchase, pasar mungkin merasa bahwa resiko perusahaan meningkat
sehingga menurunkan harga saham.
2. TEORI KEBIJAKAN DEVIDEN
Beberapa factor penting yang mempengaruhi kebijakan deviden adalah
kesempatan investasi yang tersedia, ketersediaan dan biaya modal alternatif, dan
preferensi pemegang saham untuk menerima pendapatan saat ini atau di masa datang.
2.1. DEVIDEN TIDAK RELEVAN
Menurut Modigliani dan Miller (MM), nilai suatu perusahaan tidak ditentukan oleh
pembayaran deviden. MM berpendapat bahwa nilai perusahaan ditentukan oleh earning
power dari asset perusahaan. Keputusan apakah laba yang diperoleh dibagikan dalam
bentuk deviden atau ditahan tidak mempengaruhi nilai perusahaan. MM membuktikan
pendapatnya secara matematis dengan berbagai asumsi berikut:
- Pasar modal sempurna di mana semua investor adalah rasional.
- Tidak ada biaya saham emisi saham baru, jika perusahaan menerbitkan saham baru.
- Tidak ada pajak
- Kebijakan investasi perusahaan tidak berubah.
- Kebijakan deviden tidak berpengaruh terhadap biaya modal sendiri.
Hal penting dari pendapat MM adalah bahwa pengaruh pembayaran deviden
terhadap kemakmuran pemegang saham akan diimbangi dengan jumlah yang sama
dengan cara pendanaan yang lain. Bila kebijakan investasi tidak berubah, bila perusahaan
membagikan deviden, perusahaan harus mengeluarkan saham baru sebagai pengganti
sejumlah pembayaran deviden tersebut. Dengan demikian kenaikan pendapatan dari
pembayaran deviden akan diimbangi dengan penurunan harga saham sebagai akibat
penjualan saham baru.
Beberapa ahli menentang pendapat MM, karena dalam prakteknya pasar modal yang
sempurna sulit ditemui, biaya emisi saham baru pasti ada, pajak pasti ada dan kebijakan
investasi perusahaan tidak mungkin berubah.
2.2. BIRD-IN-HAND THEORY
Myron Gordon dan John Lintner tidak sependapat dengan asumsi dalam pendapat
MM bahwa kebijakan deviden tidak mempengaruhi tingkat keuntungan yang disyaratkan
investor. Menurut Gordon dan Lintner, biaya modal sendiri perusahaan akan naik sebagai
akibat penurunan pembayaran deviden. Investor merasa lebih aman untuk memperoleh
pendapatan berupa pembayaran deviden yang lebih pasti daripada menunggu capital
gains yang lebih beresiko.
Pendapat Gordon – Lintner oleh MM diberi istilah "the – bird – in – the – hand fallacy".
Gordon – Lintner berpendapat bahwa investor memandang satu burung di tangan lebih
berharga daripada seribu burung di udara.
2.3. TEORI DEVIDEN RESIDUAL
Pendanaan eksternal (penerbitan saham baru) lebih mahal daripada pendanaan
internal (pemanfaatan laba ditahan), karena adanya biaya-biaya emisi saham (flotation
cost). Dengan adanya biaya emisi ini, menyebabkan perusahaan mengutamakan
pendanaan internal. Konsekuensinya, perusahaan baru akan membayar deviden setelah
dana-dana kebutuhan investasi terpenuhi dengan kata lain, hanya jika ada pendapatan
tersisa atau pendapatan residual, maka deviden akan dibagikan. Inilah inti teori deviden
residual (residual dividend theory).
TEORI PERBEDAAN PAJAK
Teori ini diajukan oleh Litzenberger dan Ramaswamy, menurut mereka karena
adanya pajak terhadap keuntungan deviden dan capital gains, maka investor lebih
menyukai capital gains karena pajak atas capital gains baru dibayar setelah saham dijual,
sementara pajak atas deviden harus dibayar setiap tahun setelah pembayaran deviden.
Oleh karena itu investor mensyaratkan suatu tingkat keuntungan yang lebih tinggi pada
saham yang memberikan deviden yield tinggi dan capital gains rendah daripada saham
dengan deviden yield rendah dan capital gains tinggi. Jka pajak atas deviden lebih besar
daripada pajak atas capital gains, perbedaan ini akan makin terasa.
2.5. TEORI SIGNALING HIPOTHESIS
Ada bukti empiris bahwa jika ada kenaikan deviden, sering diikuti dengan
kenaikan harga saham dan sebaliknya. Fenomena ini dapat dianggap memperlihatkan
bahwa investor lebih menyukai deviden daripada capital gains. Tetapi MM berpendapat
bahwa suatu kenaikan deviden ini merupakan suatu sinyal kepada para investor bahwa
manajemen perusahaan meramalkan suatu penghasilan yang baik di asa datang.
Sebaliknya suatu penurunan deviden atau kenaikan deviden yang di bawah kenaikan
normal (biasanya) diyakini investor sebagai satu sinyal bahwa perusahaan menghadapi
masa sulit di waktu datang.
Perubahan deviden memang mengandung beberapa informasi, tapi sulit dikatakan
apakah kenaikan atau penurunan harga setelah adanya kenaikan atau penurunan deviden
semata-mata disebabkan oleh efek sinyal atau disebabkan karena efek sinyal dan
preferensi terhadap deviden.
2.6. TEORI CLIENTELE EFFECT
Teori ini menyatakan bahwa kelompok (clientele) pemegang saham yang berbeda
akan memiliki preferensi yang berbeda terhadap kebijakan deviden perusahaan.
Kelompok pemegang saham yang membutuhkan penghasilan saat ini lebih menyukai
dividend payout ratio yang tinggi. Sebaliknya kelompok pemegang saham yang tidak
membutuhkan uang saat ini lebih senang jika perusahaan menahan sebagian laba
bersihnya.
Bukti empiris menunjukkan bahwa efek dari clientele ini ada, tetapi menurut MM,
hal ini tidak menunjukkan bahwa deviden besar lebih baik daripada deviden kecil atau
sebaliknya.
narasumber:
http://dihin.blog.esaunggul.ac.id/2012/05/02/kebijakan-dividen/

Post a Comment

0 Comments