"Tempat Yang Sunyi"

"Tempat Yang Sunyi"

 

            Paus Yohanes Paulus II pernah menulis berdasar hidup doanya, "Prayer...brings the saving power of Jesus Christ into the decisions and action of everyday life...Be faithful to your daily prayers; they will keep your faith alive and vibrant...without prayer there can be no joy, no hope, no peace" (Pope John Paul II, In My Own Word, Kanisius 2005, hlm. 14).

Saya jadi teringat ketika seorang pastor memberi sebuah pertanyaan dua tahun lalu. "Apakah kamu sudah mengenal Allah dengan baik?" Hati saya tergugah dengan pertanyaan ini. Ia mengingatkan saya untuk tetap menjaga hidup doa ditengah berbagai kesibukan aktivitas. Sebab kesibukan seringkali merenggut kesempatan kita untuk merenung dalam keheningan bersama Allah. Saya harus memberikan waktu hening pribadi untuk berdoa kepada Allah. Kita belum tentu sudah merasa dekat dengan Allah sendiri tanpa berdoa!   

Pengalaman ini menginspirasikan saya untuk melihat bagaimanakah pengalaman Yesus sendiri menyempatkan diri berdoa ditengah kesibukannya mengajar dan menyembuhkan? Mari kita buka Kitab Markus 1:35 dan Lukas 5:16. Penulis kitab mengungkapkan bahwa Yesus berusaha mempertahankan waktu pribadiNya untuk berdoa kepada Allah ke tempat sunyi. Markus 6:31 menyebutkan "tempat sunyi" sebagai suatu batas untuk beristirahat sejenak dari kesibukanNya bersama para murid. "Tempat sunyi" menjadi tujuan untuk mengasingkan atau mengundurkan diriNya dari banyak orang. Bahkan sebelum ditangkap, Yesus berdoa di Taman Getsemani (Luk 22:40-45). Yesus ingin menyerahkan diri kepada Allah saat menghadapi ketakutanNya.

Belajar dari pesan penulis kitab Markus dan Lukas ini, saya merenungkan bahwa "tempat sunyi" merupakan sebuah situasi yang tepat untuk berkomunikasi dengan Allah. "Tempat sunyi" menjadi kegembiraan bagi Yesus untuk berelasi dengan Allah. 

Bagaimanakah dengan doa-doa kita sendiri saat ini? Adakah kita menyempatkan waktu untuk berelasi dengan Allah? "Tempat sunyi" yang dihadapi oleh Yesus sendiri merupakan simbol keheningan. "Apabila setiap orang mampu menyediakan waktu hening untuk doa entah bersama entah pribadi selama lima belas atau katakanlah tiga puluh menit sehari, betapa indah dan bagusnya"(E. Martasudjita, Pr, Spiritualitas Tahan Banting, Kanisius 2007, hlm. 51).

Saya umpamakan doa sebagai sebuah permainan musik. Untuk menjadi mahir, kita perlu mengenal dulu, akrab dan memahami bagaimana cara memainkannya dengan baik.

Pada akhirnya, doa memampukan kita bukan hanya soal relasi melainkan kerendahhatian dan keterbukaan kepada Allah. Suatu saat kita dapat mengalami kekeringan dalam doa. Tetapi jika kita tetap setia, dimanapun kita berdoa, dapat memberikan kegembiraan yang luar biasa karena Allah tetap menjadi pondasi utama. Doa harus menjadi sebuah kerinduan untuk berelasi dengan Allah sendiri.

Apabila semangat doa mulai tumbuh dalam diri kita, akan semakin ada waktu bagi kita untuk berkomunikasi secara khusus dengan Allah. Namun, situasi ideal seperti itulah yang sering kali sulit kita peroleh. Semoga tulisan ini menjadi inspirasi bagi kita untuk tiada hentinya berelasi dengan Allah sendiri.

 

                                 Di tengah heningnya malam,

Post a Comment

0 Comments