*Sahabat penaku, Vincentia Eka Suwarsih
Salam kenal, Halo apa kabar Hepi, saya harap kamu baik-baik saja. Oh iya sebelum menulis surat ini. Saya mohon atas kelalaian saya tidak segera menulis surat untukmu. Saya waktu itu benar-benar sibuk belajar dan bekerja sebab sebentar lagi pelaksanaan Ebta dan Ebtanas akan tiba. Sekarang aku sudah tidak sibuk lagi.
Saya senang sekali menerima surat kamu dan saya sangat terharu menerimaku sebagai sabahat pen. Dengan begitu, aku tidak hanya memiliki sobat tunarungu tetapi melainkan sobat yang normal, yang berbeda dengan saya.
Kamu sudah cerita banyak tentang dirimu, sekarang aku yang cerita tentang diriku. Namaku adalah Eka Suwarsih. Waktu itu aku dan sekeluarga beragama Budha. Waktu kecil aku sudah terlahir sebagai anak tunarungu. Sejak kecil, aku tidak bisa membaca, menulis dan juga tidak bisa berkata apa-apa. Kalau aku ingin berbicara, rasanya lidahku sulit untuk menyuruhnya berkata sesuatu. Kadang-kadang aku pernah menangis, berteriak-teriak, memberontak sebab aku ingin mengatakan sesuatu kepada keluarga. Tak lama beberapa tahun, waktu aku berumur lima tahun, aku bisa berkata satu kata demi kata tetapi tidak semuanya. Itu sih diajarkan oleh ayah. Waktu itu aku hanya bisa ngomong mama, papa, pipis, makan, minum, sakit. Hanya itu saja tidak ada yang lain.
Satu tahun kemudian tiba-tiba ibuku meninggal waktu aku berumur enam tahun. Ibuku meninggal karena sakit kanker payudara. Semua keluargaku menangisinya tetapi aku tidak sebab waktu itu aku belum tahu arti kata meninggal. Aku pikir mamaku sedang tidak di dalam peti.
Tetapi suatu hari 3 tahun kemudian, tahun 1993, ayahku meninggal karena sakit darah tinggi/hipertensi, barulah waktu itu aku menangis sebab ketika aku membangunkannya, papa tidak membuka matanya, tubuhnya sangat kaku dan keras. Sungguh menyakitkan dan menyedihkan kenapa bisa ayah ibu meninggalkan kami anak-anaknya.
Pada bulan Oktober 1993, aku dibawa oleh saudara mamaku ke Jakarta dari tempat tinggalku di Cilegon yang dekat dengan kota Serang. Di Jakarta, aku dirawat dan dibesarkan oleh keluarga tante yang adalah adik mama. Selama akut inggal dengan tante, aku tiba-tiba bisa berbicara dengan lancar dan bisa mengerti segala hal karena keluarga tante membawaku ke sekolah SLB Pangudi Luhur yang merupakan sekolah paling baik bagi anak tunarungu.
Sekarang saya sudah lulus dari Sekolah Dasar Luar Biasa dan sudah mengikuti Ebta dan Ebtanas yang sama seperti SD umumnya. Aku berhasil memperoleh NEM yang baik. Ternyata uhan memperhatikan aku dan teman-temanku yang pada mulanya agak gugup untuk menghadapi EBTANAS yang sangat amat penting. Sekarang aku akan masuk ke SLTP Notre Dame. Semoga aku bisa menyesuaikan diri dengan sekolah yang baru dan kuharap aku mempunyai banyak teman yang baik. Semoga disana aku tidak mendapat kiriman atau ejekan karena aku tunarungu.
Soal aku terlahir sebagai anak tunarungu, sebenarnya perasaanku waktu itu ama sakit dan tersisih. Aku bingung kenapa Tuhan memberiku kecacatan padahal saudara-saudaraku semua normal. Mengapa hanya aku dan kakak sulungku yang cacat tunarungu? Tetapi setelah beberapa tahun kemudian, aku baru menyadari betapapun Tuhan amat mencintai manusianya. Ia tidak memandang manusia itu normal, cacat, kaya atau miskin.
Menurut guru, Tuhan sebetulnya tidak memberi kita cacat tunarungu, tunanetra dan lain-lain. Mengapa kita bisa cacat? Itu karena kesalahan manusia yang kurang mau berhati-hati. Mungkin saja waktu ibu mengandungku, ibu pernah sakit demam yang tinggi.
Sekarang aku tidak mempermasalahkan lagi tentang kecacatanku. Aku bangga jadi anak tunarungu yang tetap masih dicintai oleh Tuhan. Walaupun sedih juga karena tidak sedikit orang normal yang belum mengerti tentang dunia anak tuli sering menyebut anak tuli itu bisu, cadel tidak berguna, bikin orang susah. Aku dan teman-teman memiliki motto: “Tuli bukan hambatan untuk meraih prestasi dan cita-cita”. Terima kasih, God Bless You.
0 Comments